JIWA merupakan sesuatu yang abstrak, tidak bisa dilihat, diraba,
dicium atau didengar. Namun kita bisa merasakan jiwa itu tampak, dalam
arti tampak secara abstrak. Kita melihatnya dari pola tingkah laku
manusia dalam menjalani kehidupannya.
Banyak para ahli filsafat dan filsuf yang mendefinisikan makna jiwa. Para penganut paham
Banyak para ahli filsafat dan filsuf yang mendefinisikan makna jiwa. Para penganut paham
monoteisme misalnya, memandang bahwa jiwa dan badan
pada dasarnya berasal dari sesuatu yang sama, dan tunduk pada
hukum-hukum yang sama. Di lain pihak, para penganut paham dualisme
memandang bahwa jiwa dan badan merupakan dua unsur yang berbeda asal.
Kedua-duanya tunduk pada hukum yang berbeda. Tokoh dalam hal ini di
antaranya Socrates (4 SM), Plato (3 SM), dan Aristoteles (3SM).
Lalu bagaimana pandangan Islam tentang jiwa? Islam memandang bahwa
manusia memiliki dua substansi pokok, yakni badan atau jasad dan unsur
halus atau rohaniah. Unsur halus atau rohaniah manusia terbagi juga ke
dalam ruh (bersifat suci) dan jiwa itu sendiri. Menurut Alquran, di
dalam jiwa (nafs) manusia terdapat tiga jenis jiwa (nafs), yakni jiwa
amarah (an nafs al ammrah), jiwa lawwamah (an nafs al lawwamah), dan
jiwa muthmainnah (an nafs al muthmainnah).*J>
Dari ketiga jiwa (nafs) tersebut, jiwa manusia mempunyai sifat yang
beraneka ragam sesuai dengan keadaannya yang dapat menyebabkan konflik
dalam jiwa.
Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat dan memperturutkan
ajaran setan, yang memang pada jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan,
maka ia disebut jiwa yang menyuruh berbuat jahat (al-nafs al-ammarah bi
as-sur), lihat Q.S. Yusuf ayat 53.
Tetapi apabila jiwa selalu dapat menentang dan selalu melawan
sifat-sifat tercela, maka ia disebut jiwa pencela (al-nafs al-lawwamah),
lihat Q.S. Al-Qiyamah ayat 2.
Sedangkan apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang
tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah),
lihat Q.S. Al-Fajr ayat 27-30.
Lalu bagaimanakah agar jiwa kita selalu mendapatkan ketenangan? Hal ini
dapat kita temukan di dalam salat. Salat merupakan ibadah yang memiliki
bentuk komunikasi transendental antara manusia dengan Rabb-nya. Ketika
seseorang salat berarti dia telah menghadapkan, menyerahkan segala
hidupnya kepada Allah semata.
Sedangkan menurut Thohari Musnamar setidaknya ada tiga cara agar jiwa
kita mendapatkan ketenangan. Pertama, berlaku sabar. Hal ini dapat kita
ketahui berdasarkan Alquran surat Al-Baqarah ayat 155-157. "Dan sungguh
akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kedua, membaca (dan memahami) Alquran. Alquran selain merupakan petunjuk
hidup, juga merupakan penawar kehidupan yang tidak menentu. Firman
Allah, "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada
dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman" (Q.S. Yunus:
57). Juga pada ayat lainnya, "Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian".
(Al-Isra: 82) atau "Katakanlah: "Alquran itu adalah petunjuk dan penawar
bagi orang-orang mukmin" (Q.S. Fushilat: 44).
Ketiga, berzikir atau mengingat Allah. Apabila kita selalu
berzikir/mengingat Allah maka jiwa/hati senantiasa akan merasa tenteram.
Seperti dalam Alquran surat Ar-Rad ayat 28, "(yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah.
Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
Wallahuallam.
0 komentar:
Posting Komentar