TIDAK
ada ajaran dalam agama Islam yang menganjurkan kita untuk menjadi orang
yang harus tampil di semua bidang. Sifat kerendahan diri sangat
digalakkan. Setiap muslim harus berhati-hati dengan apa yang ia
bicarakan. Bahkan Islam mengajarkan kita untuk diam, kalau memang apa
yang dibicarakan itu bukan bidangnya.
"Dan janganlah kau berdiri (berbicara) pada sesuatu yang kau tidak ketahui" (QS Al-Isra: 36).
Para sahabat ridhwanullahi alaihim ketika ditanya oleh Nabi tentang suatu perkara, tidak ada satu pun yang ingin tampil agar dipandang oleh Nabi. Mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan ketawaduan, "Allahu wa Rasuluhu alam" (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui ini).
Abu Musa Al-Asyari RA pernah ditanya oleh seseorang tentang jatah anak perempuan bersama cucu perempuan beserta saudari mayyit dalam ilmu faroidh. Beliau tidak langsung menjawab dan hanya mengatakan, "Datangilah Ibnu Masud, beliau lebih tahu dari aku dalam masalah ini" (HR Al-Bukhari).
Beliau tidak malu dikatakan sebagai orang yang dangkal ilmu, karena memang beliau tidak mengetahui masalah tersebut.
Pun demikian dengan Nabi. Banyak masalah yang ditanyakan kepada beliau, tapi dengan tawadu beliau menangguhkan jawaban sampai beberapa hari. Beliau berdoa dan meminta wahyu kepada Allah SWT atas pertanyaan tersebut. Beliau tidak langsung menjawab. Dan memang banyak ayat Alquran yang turun karena permintaan wahyu dari Nabi.
Tanda orang yang tawadu adalah saat semakin bertambah ilmunya, semakin rendah hati terhadap sesama. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Tidak sombong.
Semakin bertambah amalnya, semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usia, semakin berkurang ketamakan nafsunya.
Setiap kali bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanannya untuk membantu sesama. Bertambah tinggi kedudukan dan posisinya, semakin dekat pula dia dengan sesama manusia serta bersikap rendah hati kepada mereka.
Ini karena orang yang tawadu menyadari segala nikmat yang didapatnya datang dari Allah SWT untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
"Dan janganlah kau berdiri (berbicara) pada sesuatu yang kau tidak ketahui" (QS Al-Isra: 36).
Para sahabat ridhwanullahi alaihim ketika ditanya oleh Nabi tentang suatu perkara, tidak ada satu pun yang ingin tampil agar dipandang oleh Nabi. Mereka menjawab pertanyaan tersebut dengan ketawaduan, "Allahu wa Rasuluhu alam" (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui ini).
Abu Musa Al-Asyari RA pernah ditanya oleh seseorang tentang jatah anak perempuan bersama cucu perempuan beserta saudari mayyit dalam ilmu faroidh. Beliau tidak langsung menjawab dan hanya mengatakan, "Datangilah Ibnu Masud, beliau lebih tahu dari aku dalam masalah ini" (HR Al-Bukhari).
Beliau tidak malu dikatakan sebagai orang yang dangkal ilmu, karena memang beliau tidak mengetahui masalah tersebut.
Pun demikian dengan Nabi. Banyak masalah yang ditanyakan kepada beliau, tapi dengan tawadu beliau menangguhkan jawaban sampai beberapa hari. Beliau berdoa dan meminta wahyu kepada Allah SWT atas pertanyaan tersebut. Beliau tidak langsung menjawab. Dan memang banyak ayat Alquran yang turun karena permintaan wahyu dari Nabi.
Tanda orang yang tawadu adalah saat semakin bertambah ilmunya, semakin rendah hati terhadap sesama. Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Tidak sombong.
Semakin bertambah amalnya, semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usia, semakin berkurang ketamakan nafsunya.
Setiap kali bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanannya untuk membantu sesama. Bertambah tinggi kedudukan dan posisinya, semakin dekat pula dia dengan sesama manusia serta bersikap rendah hati kepada mereka.
Ini karena orang yang tawadu menyadari segala nikmat yang didapatnya datang dari Allah SWT untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
0 komentar:
Posting Komentar