Assalamu'alaikum wr. wb. Terima Kasih Atas Kunjungannya. Jangan lupa isi buku tamunya ya :)

Jumat, 27 Januari 2012

Syukur Nikmat Iman dan Islam

Secara bahasa, syukur artinya berterima kasih. Pengertian syukur yang dikehendaki oleh hukum syara, ialah menempatkan suatu perkara pada tempatnya. Istilah syukur dapat pula diartikan mendayagunakan semua nikmat dari Alloh SWT sesuai dengan kehendak-Nya. Nikmat itu adalah pemberian dari Alloh SWT kepada makhluk-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari nikmat itu sering diungkapkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan senang, bahagia atau enak yang biasa dirasakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Jenis-jenis nikmat yang dianugrahkan Alloh SWT kepada kita sangat banyak, antara lain nikmat jasmani, nikmat rohani, nikmat materi, nikmat ilmu pengetahuan serta nikmat Iman dan Islam.

Nikmat Iman dan Islam adalah nikmat yang paling besar serta paling tinggi nilainya dibandingkan dengan nikmat-nikmat yang lainnya.. dikatakan demikian, karena dengan nikmat ini, manusia hatinya menjadi tentram, damai dan berserah diri kepada Alloh SWT. Dengan nikmat ini pula manusia akan hidup sejahtera di dunia dan di akherat. Sedangkan nikmat-nikmat yang lainnya belum tentu mendapatkan yang demikian. Nikmat iman dan Islam termasuk nikmat yang paling besar dan sangat mahal, karena meskipun Alloh SWT telah menganugerahkan kepada manusia akal, fitrah beragama, serta ilmu pengetahuan, tidak setiap orang dapat menikmati Iman dan Islam kareana seseorang beriman dan berislamnya bergantung kepada taufik dan hidayah dari Alloh SWT.
"Bukanlah kewajiban (Muhammad) menjadikan mereka dapat petunjuk, akan tetapi Alloh-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya"..... (QS Al Baqarah, 2:272)

Bagi kita yang telah beriman kepada Alloh SWT, beriman kepada rukun iman yang lainnya, serta meyakini dan menerima Islam sebagai pedoman hidup, hendaklah kita bersyukur kepada-Nya. Cara mensyukuri nikmat ini dengan hati, lisan dan amal perbuatan. Keadaan Iman pada diri seseorang itu tidak tetap, kadang-kadang berkurang dan kadang-kadang bertambah. Dengan demikian, hendaklah iman yang ada pada diri kita itu dipelihara dengan baik, dengan cara banyak mengingat (zikir) kepada Alloh SWT, berdoa, membaca Al Qur'an, serta mengikuti berbagai kegiatan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan usaha-usaha sebagaimana yang telah disebutkan di atas, insya Alloh iman kita akan senantiasa bertambah. 

Dengan diberi taufik dan hidayah dari Alloh SWT, kita menjadi seorang mukmin dan muslim. Hal ini wajib kita syukuri karena nikmat Iman dan Islam akan membawa hati kita berserah diri kepada-Nya dengan bentuk pengabdian sepenuhnya kepada Alloh SWT.

"Maka dengan Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya"..... (QS An Nisa, 4:65)

Orang yang beirman dengan sepenuh hati akan senantiasa taat dan patuh terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al Qur'an dan Al Hadist.

Mereka semua akan mendapatkan keuntungan, baik ketika hidup di dunia maupun di akhirat kelak.

"Sesengguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Alloh dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. 'Kami mendengar dan patuh' dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." ..... (QS An Nur, 24:51)


Sabtu, 14 Januari 2012

Wahai Pemuda, Inilah 40 Assabiqunal Awwalun

Wahai pemuda, jika semangat dakwahmu melemah, lihatlah mereka paraassabiqunal awwalun yang ditempa Rasulullah SAW di rumah Arqam bin abi Arqam. Tak kurang 25 dari 40 orangassabiqunal awwalun itu berusia di bawah 30 tahun. Mereka adalah pemuda! Sepertimu! Dan sejarah kemenangan selalu diukir oleh para pemuda.

“Oleh karena itu,” kata Hasan Al Banna dalamMajmu’atur Rasail, “sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji-panjinya”.
Wahai pemuda, semestinya kita malu jika usia kita masih muda, status kita pemuda, tetapi kita tidak memiliki semangat juang dalam menegakkan kebenaran dan mendakwahkan Islam. Apa artinya menjadi pemuda jika energi dan vitalitas untuk bergerak tidak dimiliki? Apa artinya menjadi pemuda jika sikap diam menghalangi diri berkebajikan?
“Pemuda yang tidak memiliki semangat dakwah,” kata Imam Syafi’i dalam antologi syairnya, “takbirkanlah ia empat kali, karena sesungguhnya ia telah mati.”
Lihatlah mereka, para assabiqunal awwalun yang ditarbiyah Rasulullah di rumah Arqam bin Abi Arqam. Tidakkah kita iri dengan mereka yang usianya masih belia tetapi menjadi tonggak dakwah Islam dengan segala konsekuensi dan resikonya. Lepas dari mereka disebut sebagai kutlah oleh harakah tertentu dan disebut sebagai kataib oleh harakah lainnya, tak kurang 25 dari 40 sahabat itu berusia kurang dari 30 tahun. Mari simak nama-nama assabiqunal awwalun ini, lihatlah usianya dan seraplah semangat juang mereka:
1. Ali bin Abu Thalib berusia 8 tahun
2. Zubair bin Awwam berusia 8 tahun
3. Thalhah bin Ubaidillah berusia 11 tahun
4. Arqam bin Abi Arqam berusia 12 tahun
5. Abdullah bin Mas’ud berusia 14 tahun
6. Sa’ad bin Abi Waqash berusia 17 tahun
7. Mas’ud bin Rabi’ah berusia 17 tahun
8. Abdullah bin Mazhun berusia 17 tahun
9. Ja’far bin Abu Thalib berusia 18 tahun
10. Qudamah bin Mazhun berusia berusia 19 tahun
11. Sa’id bin Zaid berusia < 20 tahun
12. Shuhaib ar-Rumi berusia < 20 tahun
13. Zaid bin Haristah berusia sekitar 20 tahun
14. Utsman bin Affan berusia sekitar 20 tahun
15. Thulaib bin Umair berusia sekitar 20 tahun
16. Khabab bin Al-Art berusia sekitar 20 tahun
17. Saib bin Mazhun berusia sekitar 20 tahun
18. Amir bin Fuhairah berusia berusia 23 tahun
19. Mush’ab bin Umair berusia 24 tahun
20. Miqdad bin Al-Aswad berusia berusia 24 tahun
21. Abdullah bin Jahsy berusia 25 tahun
22. Umar bin Khatab berusia 26 tahun
23. Abu Ubaidah bin Jarah berusia 27 tahun
24. Utbah bin Ghazwan berusia 27 tahun
25. Abu Hudzaifah bin Utbah berusia sekitar 30 tahun
26. Bilal bin Rabah berusia sekitar 30 tahun
27. ‘Ayash bin Rabi’ah berusia sekitar 30 tahun
28. ‘Amir bin Rabi’ah berusia sekitar 30 tahun
29. Na’im bin Abdullah berusia sekitar 30 tahun
30. Utsman bin Mazhun berusia sekitar 30 tahun
31. Abu Salmah Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi berusia sekitar 30 tahun
32. Abdurrahman bin Auf berusia sekitar 30 tahun
33. Ammar bin Yasar berusia sekitar 30-40 tahun
34. Abu Bakar Ash Shidiq berusia 37 tahun
35. Hamzah bin Abdul Muthalib berusia 42 tahun
36. Ubaidah bin Al-Harits berusia 50 tahun
Selain 36 nama di atas, ada beberapa shahabiyah assabiqunal awwalun seperti Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Khatab, Ummu Aiman, Ruqayyah, dan Sumayyah. Nama yang disebut terakhir ini menjadi syahidah pertama fi sabilillah bersama suaminya yang juga syahid: Yasir. Sehingga keduanya tidak dimasukkan ke dalam nama-nama sahabat yang dibina Rasulullah di rumah Arqam bin Abi Arqam.
Menjadi pemuda, artinya adalah menjadi manusia yang bersemangat. Menjadi pemuda, artinya adalah menjadi orang-orang yang mampu bergerak cepat. Menjadi pemuda, artinya menjadi pribadi tangguh yang siap menyelamatkan umat. Para pemuda pendahulu kita telah memberikan contoh dan menjadi teladan, jika engkau tak juga menemukan siapa mereka, lihatlah mereka assabiqunal awwalun; generasi pertama dari kalangan sahabat. [Muchlisin] dari bersamadakwah.com

Jumat, 06 Januari 2012

MAKNA SUNNAH DALAM AL-QUR'AN

Oleh: Al Ustadz Abduh Zulfidar Akaha, Lc
Adalah sangat mengada-ada dan dipaksakan jika orang-orang yang mengingkari Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan bahwa Sunnah itu tidak ada hanya dikarenakan tidak ada penyebutan kata �Sunnah Nabi� atau �Sunnah Rasul� di dalam Al-Qur`an. Sebab, tidak semua hal harus disebutkan secara letterledge (harfiyah) oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan itu adalah hak prerogatif Allah yang tidak bisa diganggu gugat. Bagaimanapun juga, setiap bahasa mempunyai kaidah dan gramatikanya sendiri. Begitu pula dengan Bahasa Arab. Penggunaan kata ganti orang kedua dan ketiga serta penyebutan sesuatu dengan menggunakan kata yang lain adalah sesuatu yang sangat biasa. Bahkan dalam bahasa apa pun.
Siapa pun maklum bahwa ketika Allah menyebutkan kata �Nabi,� �Rasul,� dan �Ahmad� dalam Kitab-Nya, maka yang dimaksud adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan manakala Allah menyebutkan kata �Al-Kitab� dalam awal surat Al-Baqarah, maka setiap orang yang berakal pasti tahu bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur`an. Begitu pula ketika Allah menyebutkan kata �Ar-Ruh Al-Amin� dalam surat Asy-Syu�araa` ayat 193, maka tidak ada lagi yang dimaksud selain Malaikat Jibril. Sebab, Malaikat Jibril-lah satu-satunya malaikat yang bertugas menurunkan wahyu kepada para utusan Allah. Dan masih banyak lagi yang lain.
Jadi, merupakan suatu hal yang aneh jika orang-orang inkar Sunnah menutup mata atau pura-pura tidak tahu bahwa ada kata-kata tertentu dalam Al-Qur`an yang bermakna sebagai Sunnah Nabi. Apalagi jika konteks ayatnya memang menunjukkan bahwa itu adalah Sunnah Nabi. Lebih �lucu� lagi, ketika mengartikan kata �adz-dzikr� dan �al-hikmah� sebagai Al-Qur`an, orang inkar Sunnah mengklaim bahwa hanya Al-Qur`an sajalah yang diturunkan Allah. Padahal konteks ayatnya tidak selalu mutlak bermakna demikian.
�Adz-Dzikr� juga Bermakna Sunnah
Benar, dalam sejumlah ayat dalam Al-Qur`an yang menyebutkan kata �adz-dzikr,�1) hampir semua ulama tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud �adz-dzikr� adalah Al-Qur`an. Akan tetapi, dalam waktu yang sama, akan sulit dijumpai ulama tafsir yang memisahkan antara Al-Qur`an dan Sunnah. Dalam arti kata, para ulama tafsir Ahlu Sunnah pun sepakat bahwa selain Al-Qur`an, Allah juga menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk Sunnah yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an.
Misalnya, perkataan Nabi ketika menjawab salah seorang istrinya2) yang bertanya, �Siapa yang memberitahukan hal ini kepadamu?� Kata beliau, �Aku diberi tahu oleh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.�3) Pengetahuan Nabi atas apa yang sedang dibicarakan secara rahasia oleh sebagian istrinya ini adalah wahyu, tetapi mengenai apa isi perkataan4) Nabi tersebut, maka Sunnah-lah yang menceritakannya lebih lanjut.
Sesungguhnya, Sunnah yang shahih juga dijaga oleh Allah Azza wa Jalla sebagaimana Al-Qur`an. Allah berfirman,
�Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya.� (Al-Hijr: 9)
 DR. Muhammad Musa Nashr mengatakan, bahwa yang dimaksud adz-dzikr dalam ayat ini adalah Al-Qur`an dan Sunnah. Sebab, ayat-ayat Al-Qur`an itu saling menafsirkan satu sama lain. Dan, ayat ini ditafsirkan oleh ayat lain yang berbunyi,
 �Maka bertanyalah kalian kepada ahlu adz-dzikr jika kalian tidak mengetahui, dengan penjelasan-penjelasan dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan adz-dzikr kepadamu agar kamu menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka mau berpikir.� (An-Nahl: 43-44)
 Mereka yang dimaksud dengan �ahlu adz-dzikr� dalam dua ayat ini adalah para ulama. Dan, seseorang tidak mungkin disebut sebagai alim (bentuk jama�; ulama) kecuali apabila dia menguasai Al-Qur`an dan Sunnah secara bersama-sama. Dengan demikian, sesungguhnya �ahlu adz-dzikr� itu adalah ulama Al-Qur`an dan Sunnah. Dikarenakan Sunnah merupakan bagian dari wahyu inilah, maka Allah memudahkan para ulama untuk menyeleksi dan memilah Sunnah; mana yang benar-benar Sunnah dan mana yang bukan Sunnah5) Sebab, Allah pun menjaga Sunnah Nabi-Nya sebagaimana Dia menjaga Kitab-Nya.
 Jadi, karena �adz-dzikr� juga mempunyai makna Sunnah, maka sesungguhnya Sunnah itu ada dalam Al-Qur`an, dan bahwa Sunnah adalah juga wahyu dari Allah. Apalagi Allah Ta�ala mengatakan, �Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya. Tidak lain itu adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).� (An-Najm: 3-4)
�Al-Hikmah� Adalah Sunnah
Terdapat sekitar dua puluh kata �al-hikmah�6) dalam Al-Qur`an, Dan, kira-kira separonya adalah bermakna Sunnah. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 129 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
�Wahai Tuhan kami, utuslah seorang Rasul di tengah-tengah mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, dan mengajari mereka Al-Kitab serta al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.�
 Imam Abdullah An-Nasafi (w. 710 H) berkata, �Yang dimaksud �membacakan kepada mereka ayat-ayatMu� yaitu membacakan dan menyampaikan kepada mereka bukti-bukti keesaan Allah dan kebenaran para nabi yang diutus berdasarkan wahyu yang diturunkan. Dan, yang dimaksud �mengajari mereka Al-Kitab� yaitu mengajarkan Al-Qur`an kepada mereka. Sedangkan yang maksud al-hikmah� yaitu Sunnah Nabi dan pemahaman Al-Qur`an. Adapun maksud �menyucikan mereka� adalah membersihkan mereka dari perbuatan syirik dan segala najis.�7) Jadi, makna �al-hikmah� dalam ayat ini adalah Sunnah.8)
Dalam ayat lain Allah Jalla wa �Ala berfirman,
�Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan al-hikmah. Sesungguhnya Allah adalah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.� (Ak-Ahzab: 34)
 Tentang ayat ini, Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni mengatakan dalam kitab tafsirnya, bahwa yang dimaksud dengan �ayat-ayat Allah� adalah ayat-ayat Al-Qur`an. Sedangkan yang dimaksud �al-hikmah� yaitu Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dengan keduanyalah (Al-Qur`an dan Sunnah) seorang mukmin dapat memperoleh kebahagiaan dan kesuksesan.9)
�Al-Bayan� Adalah Sunnah
�Al-bayan� atau �at-tibyan� artinya secara bahasa yaitu penjelas atau yang menjelaskan. Yang namanya penjelas, tentu ada sesuatu yang dijelaskan. Dan, tidak selalu (tidak harus) bahwa yang dijelaskan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipahami atau tidak dimengerti artinya atau hakekatnya. Sebab, terkadang sesuatu yang sudah jelas pun perlu penjelasan lebih lanjut supaya lebih jelas lagi. Contoh yang sangat sederhana saja, yang sedang Anda baca sekarang ini adalah buku. Siapa pun tahu dengan jelas apa itu buku. Tapi apa kata �buku� itu sendiri tidak bisa dijelaskan? Tentu bisa. Meskipun semua orang (yang berakal sehat) tahu apa itu buku, namun kita masih bisa membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) �terbitan Balai Pustaka, misalnya� untuk melihat apa itu penjelasan dari kata �buku.�
 Sekiranya segala sesuatu yang sudah jelas itu tidak perlu dijelaskan lagi, barangkali tidak akan pernah ada yang namanya Kamus Bahasa Indonesia dalam berbagai versinya yang menjelaskan kosa kata Bahasa Indonesia sendiri. Begitu pula dengan berbagai kamus Bahasa Arab dan Bahasa Inggris serta kamus-kamus dalam bahasa lain yang menjelaskan kosa kata dalam bahasanya sendiri.
Demikian pula dengan Al-Qur`an. Al-Qur`an memang sudah jelas dan mudah dipahami. Allah sendiri yang mengatakan demikian dalam Kitab-Nya.10) Akan tetapi, tentu tidak semua ayat Al-Qur`an itu bisa dipahami dengan mudah, sebagaimana juga ada kata-kata dalam Al-Qur`an yang sudah jelas namun perlu penjelasan lebih lanjut. Terutama dalam hal penjabarannya, perinciannya, dan praktik serta aplikasinya.
 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
�Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.� (Al-Qiyamah: 18-19)
 Penjelasan seperti apa yang diberikan Allah kepada Nabi-Nya? Apakah setiap penjelasan dari Allah juga terdapat dalam Al-Qur`an? Tentu tidak. Itulah makanya, yang dimaksud dengan �al-bayan� atau penjelasannya di sini adalah Sunnah. Karena, melalui Sunnah-lah Nabi menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur`an berdasarkan wahyu yang beliau terima dari Allah. Syaikh Abdurrahman As-Sa�di (1307 � 1376 H) mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan penjelasannya atau yang menjelaskannya adalah penjelasan makna-makna Al-Qur`an. Allah menjanjikan kepada Nabi bahwa beliau pasti akan hafal lafalnya dan hafal makna-maknanya.11)
Mengutip pendapat Qatadah bin Di�amah (w. 117 H), Imam Al-Qurthubi menyebutkan, bahwa yang dimaksud �al-bayan� dalam ayat ini yaitu tafsir ayat-ayat tentang hudud, dan halal serta haram dalam Al-Qur`an. Al-Qurthubi melanjutkan, �al-bayan� juga berarti penjelasan lebih detil tentang janji dan ancaman Allah. Dan bahwa Allah-lah yang akan menjelaskan makna Al-Qur`an melalui lisanmu (Muhammad).12)
 Apabila penjelasan yang berasal dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang ayat-ayat Al-Qur`an tersebut tidak ada dalam Al-Qur`an, maka yang dimaksud dengan �al-bayan� tidak lain dan tidak bukan adalah Sunnah.
 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
 �Dan Kami telah menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`an) yang menjelaskan segala sesuatu.� (An-Nahl: 89)
Dalam kitab tafsirnya, Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Al-Auza�i, bahwa Nabi menjelaskan segala sesuatu dalam Al-Kitab dengan Sunnahnya.13) Jadi, yang dimaksud �at-tibyan� dalam ayat ini adalah Sunnah. Sebab, dengan Sunnah-lah Nabi menjelaskan segala sesuatu yang terkandung dalam Al-Qur`an.
 Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili berkata, �Penjelas (at-tibyan) segala sesuatu dalam Al-Qur`an bisa dengan nash yang sudah jelas hukumnya (dalam suatu perkara), dan bisa juga dengan Sunnah Nabi dimana Allah memerintahkan kita untuk mengikuti dan menaati Rasul-Nya.14)
Apabila orang inkar Sunnah mengatakan bahwa Al-Qur`an adalah penjelas segala sesuatu, seharusnya mereka bisa membuktikan penjelasan Al-Qur`an tentang perincian ibadah dan muamalah serta adab keseharian seorang muslim. Mereka (inkar Sunnah) harus bisa menunjukkan dalam Al-Qur`an tentang rincian tatacara shalat; bacaan, gerakan, dan jumlah rakaatnya. Mereka harus bisa membuktikan bahwa manasik haji secara lengkap terdapat dalam Al-Qur`an. Mereka harus mampu menunjukkan penjelasan Al-Qur`an tentang aturan jual-beli, hukum pernikahan, dan etika bermasyarakat. Demikian seterusnya. Apakah mereka bisa menunjukkan penjelasan hal-hal tersebut dalam Al-Qur`an? Sungguh, Sunnah-lah yang menjelaskan ini semua. Bagaimanapun juga, Sunnah adalah penjelas Al-Qur`an.
�Al-Balagh� Mengandung Makna Sunnah
Memberikan hidayah kepada seseorang atau membuat seseorang menjadi beriman kepada Allah, bukanlah tugas Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai seorang utusan Allah. Kewajiban Nabi hanyalah menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah Allah. Adapun masalah pemberian pahala dan pencatatan dosa adalah urusan Allah. Allah-lah yang membalas amal baik dan buruknya seseorang. Dan, Allah pula yang memberikan hidayah serta yang membuat seseorang menjadi beriman atau tetap dalam kekafirannya.
Kata �al-balagh� yang berarti menyampaikan banyak terdapat dalam Al-Qur`an. Kata �al-balagh� ini sering dilekatkan pada Nabi berkaitan dengan tugas beliau sebagai utusan Allah yang menyampaikan risalah-Nya. Dan, risalah yang diemban oleh Nabi ini mencakup Al-Qur`an dan Sunnahnya. Sebab, dengan Sunnah-lah Nabi menjelaskan isi Al-Qur`an, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan yang lalu.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
�Tidak ada kewajiban Rasul selain menyampaikan. Dan, Allah Maha mengetahui apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian sembunyikan.� (Al-Maa`idah: 99)
Imam Abdullah An-Nasafi mengatakan, bahwa ayat ini menegaskan wajibnya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasul, dan bahwasanya Rasul telah melaksanakan �al-balagh� yang menjadi kewajibannya.15)
Dan, sebagaimana diketahui, bahwa risalah yang dibawa Nabi adalah Al-Qur`an dan Sunnah. Dalam arti kata, Nabi pun mempunyai otoritas �atas izin dan kehendak Allah� untuk menyuruh dan melarang umatnya. Inilah makna dari firman Allah Ta�ala, �Dan apa yang dibawa oleh Rasul untuk kalian, maka ambillah. Dan apa yang kalian dilarang (melakukannya)nya, maka hentikanlah.� (Al-Hasyr: 7)
Jadi, sangat masuk akal jika yang dimaksud dengan �al-balagh� dalam ayat di atas dan beberapa ayat lain adalah Sunnah Nabi. Karena, kewajiban Nabi adalah menyampaikan apa yang diwahyukan Allah kepada beliau, dan penjelasan dari Nabi atas wahyu Allah adalah Sunnah. DR. Muhammad Musa Nashr berkata, �Al-balagh al-mubin (penyampaian yang jelas) yaitu tafsir Al-Qur`an Al-Karim dan penjelasan tentang syariat Islam.�16)
�Al-Amr� Bermakna Sunnah
Kaum muslimin dan para ulamanya telah bersepakat, bahwa apa pun yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan sanad yang shahih adalah Sunnah beliau. Baik itu berupa perintah, larangan, contoh praktik suatu ibadah, adab keseharian beliau, dan apa pun yang beliau katakan, lakukan, dan diamkan, adalah Sunnah. Keputusan dan perintah beliau adalah Sunnah, dimana kaum muslimin wajib melaksanakannya semampu mungkin. Dalam Al-Qur`an Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
�Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.� (An-Nur: 63)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, �Maksudnya yaitu dari perintah Rasulullah. Perintah ini adalah jalan beliau, manhaj, dan jalannya. Perintah Rasul adalah Sunnah dan syariatnya, dimana semua perkataan dan perbuatan kita diukur dengan perkataan dan perbuatan Rasul. Apabila perkataan dan perbuatan kita sama dengan Rasul, maka hal itu bisa diterima. Namun, jika perkataan dan perbuatan kita menyalahi Rasul, maka ia tertolak, siapa pun orangnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim, bahwa �Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dariku, maka ia tertolak.� 17) Maksudnya, hendaklah seseorang takut dan berhati-hati jangan sampai dia menyalahi syariat Rasul baik secara lahir maupun batin.�18) Jadi, makna �al-amr� atau perintah di sini adalah perintah Rasul, yakni Sunnah beliau.
Dalam ayat lain disebutkan,
�Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin maupun mukminah apabila Rasulullah telah menetapkan suatu perintah, mereka mempunyai pilihan sendiri untuk urusannya. Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.� (Al-Ahzab: 36)
Menukil hadits yang diriwayatkan Imam Ath-Thabarani dengan sanad shahih dari Qatadah, Imam As-Suyuthi menyebutkan sebab turunnya ayat ini, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melamar Zainab binti Jahsy untuk dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah, mantan budak beliau. Zainab menyangka bahwa Nabi melamarnya untuk dirinya sendiri. Namun, setelah Zainab tahu bahwa lamaran itu ternyata untuk Zaid, dia pun menolak. Maka, Allah pun menurunkan ayat ini. Kemudian, Zainab pun menerima dan bersedia dinikahi oleh Zaid.�19)
Mengomentari ayat di atas, Syaikh Abdul Qadir As-Sindi berkata, �Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an yang bermakna seperti ini, semuanya adalah nash sharih dalam masalah wajibnya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Dan, mengikuti Rasul ini tercerminkan dalam bentuk mengikuti Sunnah beliau yang shahih yang benar-benar berasal dari beliau.�20)
�An-Nur� Bermakna Sunnah
Allah Jalla wa �Ala berfirman dalam Kitab-Nya,
�Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, dan menolongnya, serta mengikuti �an-nur� yang diturunkan bersamanya; maka mereka adalah orang-orang yang beruntung.� (Al-A�raf: 157)
�An-nur� artinya cahaya. Dengan cahaya, seseorang bisa terbebas dari kegelapan. Dalam surat An-Nur ayat 35 disebutkan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi. Dan dalam ayat ini, �an-nur� bisa bermakna Al-Qur`an dan bisa pula bermakna Sunnah, atau dua-duanya secara bersamaan. Bagaimanapun juga, Sunnah adalah cahaya. Dengan mengikuti Sunnah-lah seseorang bisa beragama dengan benar dan terbebas dari bid�ah serta ketergelinciran ke dalam perbuatan maksiat. Dengan mengikuti Sunnah, otomatis seseorang juga mengikuti Al-Qur`an. Demikian sebaliknya dan seharusnya. Dengan mengikuti Al-Qur`an, seorang muslim juga harus mengikuti Sunnah Nabi-Nya.
Menafsiri ayat ini, Imam An-Nasafi berkata, �Ikutilah Al-Qur`an yang diturunkan dengan cara mengikuti Nabi dan mengamalkan Sunnahnya.�21) Sedangkan dalam Tafsir Al-Wasith disebutkan, bahwa �an-nur� yaitu Al-Qur`an Al-Karim dan wahyu yang diturunkan kepada Nabi dalam Sunnah. Karena, yang dimaksud dengan �an-nur� adalah kata lain dari syariat Allah secara keseluruhan.22)
 Dalam ayat lain disebutkan,
 �Dan Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (nur) dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.� (Al-Maa`idah: 16)
Syaikh As-Sa�di mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan �mengeluarkan mereka dari kegelapan� yaitu kegelapan kekafiran, bid�ah, maksiat, kebodohan, dan kelalaian. Sedangkan �kepada cahaya (nur),� maksudnya yaitu cahaya iman dan Sunnah, ketaatan, ilmu, dan dzikir.�23)
Dengan demikian, sesungguhnya Sunnah Nabi itu terdapat dalam banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an. Meskipun, sebagaimana kami katakan, tidak mutlak harus dengan menggunakan kata yang letterledge �Sunnah Nabi� atau �Sunnah Rasul.� Karena, dalam hal ini kita bisa menggunakan akal sehat kita. Apalah gunanya Allah mengaruniakan akal kepada kita kalau kita tidak memanfaatkannya untuk berpikir. Apalagi, Allah menyuruh kita �melalui ayat-ayatNya� untuk memaksimalkan pemikiran kita tanpa menuruti hawa nafsu.      
Dan, sebagai orang berakal, tentu kita bisa membaca bahwa ada kata-kata tertentu dalam Al-Qur`an yang bermakna Sunnah. Sehingga, Sunnah sebagai sumber syariat Islam yang utama setelah Al-Qur`an adalah legitimate dari Pembuat syariat, alias sudah mendapatkan legitimasi dari Allah Ta�ala dalam Kitab-Nya. Tidak ada satu pun umat Islam yang mengingkari hal ini, selain orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsunya. Mahabenar Allah dengan firman-Nya,
�Apakah kamu tidak melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Allah telah menyesatkan dia dalam ilmunya dan mengunci mati pendengaran serta telinganya, dan Dia membuat penghalang pada penglihatannya. Maka, siapakah yang akan memberinya petunjuk (setelah Allah sesatkan dia)? Apakah kalian tidak juga mau berpikir?� (Al-Jatsiyah: 23).
Wallahu Ta�ala a�lam.

CATATAN KAKI
1 Lihat misalnya surat Al-Hijr: 6 dan 9, dan An-Nahl: 43-44,
2 Ada yang mengatakan bahwa istri dimaksud adalah Aisyah, ada juga yang mengatakan Hafshah. Atau bisa jadi dua-duanya. Lihat; At-Tafsir Al-Wasith/Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili/jilid 3/hlm 2788-2789/Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus/Cetakan I/2001 M � 1422 H.
3 Lihat QS. At-Tahrim ayat 3 beserta tafsirnya.
4 Ayat ini juga membantah perkataan orang inkar Sunnah bahwa tidak ada kata �hadits Nabi� dalam Al-Qur`an. Sebab, ayat ini menggunakan kata �hadits� dalam menyebutkan apa yang Nabi katakan kepada istrinya.
5 As-Sunnah; Baina Atba�iha wa A�daa`iha/DR. Muhammad Musa Nashr. Lihat di http://www.m-alnaser.com/rabbani.htm dan http://www.maghrawi.net/modules.php?name=Splatt_Forums&file=viewtopic&topic=105&forum=1.
6 Termasuk dua di antaranya tidak memakai �al.�
7 Madarik At-Tanzil wa Haqa`iq At-Ta`wil (Tafsir An-Nasafi)/Imam Abdullah bin Ahmad An-Nasafi/jilid I/juz 1/hlm 126/Penerbit Dar An-Nafa`is, Beirut/Cetakan I/1996 M � 1416 H.
8 Ayat-ayat lain yang bunyinya senada dengan ayat ini (didahului dengan kata Al-Kitab), yaitu; Al-Baqarah: 151 dan 231, Ali Imran: 48 dan 164, An-Nisaa`: 54 dan 113, Al-Maa`idah: 110, dan Al-Jumu�ah: 2.
9 Shafwatu At-Tafasir/Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni/juz 2/hlm 481/Penerbit Dar Ash-Shabuni, Kairo/Cetakan I/1997 M � 1417 H.
10 Lihat misalnya; Al-Baqarah: 159 dan Al-Qamar: 22.
11 Taysir Al-Karim Al-Mannan (Tafsir As-Sa�di)/hlm 899/ terbitan Markaz Fajr li Ath-Thiba�ah, Kairo/Cetakan I/2000 M � 1421 H.
12 Al-Jami� li Ahkam Al-Qur`an (Tafsir Al-Qurthubi)/jilid 10/juz 19/hlm 79.
13 Tafsir Al-Qur`an Al-�Azhim (Tafsir Ibnu Katsir)/jilid 2/hlm 757.
14 At-Tafsir Al-Wasith/jilid 2/hlm 1293.
15 Madarik At-Tanzil wa Haqa`iq At-Ta`wil (Tafsir An-Nasafi)/jilid 2 hlm 437.
16 Lihat; http://www.m-alnaser.com/rabbani/.htm dan http://www.maghrawi.net/modules.php?name=Splatt_Forums&file=viewtopic&topic=105&forum=15.
17 Hadits ini sangat masyhur. Bahkan, terkadang hadits ini sering dipakai oleh sebagian kelompok Islam untuk membid�ahkan dan menuding orang/kelompok lain sebagai ahlu bid�ah, padahal tidak selalu mutlak demikian. Lihat hadits ini di Al-Lu�lu� wa Al-Marjan/juz 2/hadits nomor 1120, dari Aisyah. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini.
18 Tafsir Ibnu Katsir/jilid 3/hlm 374.
19 Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul/Imam Jalaluddin As-Suyuthi/hlm 351/Penerbit Maktabah Al-Qayyimah, Kairo/Tanpa tahun. Riwayat ini juga disebutkan oleh Imam Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan sejumlah mufassir lain, dalam kitab tafsirnya.
20 Lihat; Hujjiyyatu As-Sunnah An-Nabawiyyah wa Makanatuha fi At-Tasyri� Al-Islamiy/Syaikh Abdul Qadir bin Habibillah As-Sindi, di http://www.iu.edu.sa/Magazine/30/11.htm.
21 Madarik At-Tanzil wa Haqa`iq At-Ta`wil (Tafsir An-Nasafi)/Imam Abdullah bin Ahmad An-Nasafi/jilid I/juz 2/hlm 117/Penerbit Dar An-Nafa`is, Beirut/Cetakan I/1996 M � 1416 H.
22 Lihat; At-Tafsir Al-Wasith/Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili/jilid I/hlm 736/Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus/Cetakan I/2001 M � 1422 H.
23 Taysir Al-Karim Al-Mannan (Tafsir As-Sa�di)/Syaikh Abdurrahman As-Sa�di/hlm 210/Penerbit Maktabah Al-Iman, Manshurah � Mesir/Tanpa tahun.

Rabu, 04 Januari 2012

Jalan Golongan Yang Selamat

Siapakah golongan yang selamat di dunia dan ekhirat? Berikut kami salinkan sifat-sifat golongan manusia yang selamat (menurut agama) sebagaimana yang ditulis oleh seorang Ulama Besar dari Tanah Suci Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
1. Golongan Yang Selamat ialah golongan yang setia mengikuti manhaj Rasulullah Shallallahu �Alaihi wa Sallam dalam hidupnya, serta manhaj para Shahabat sesudahnya.
Rasulullah Shallallahu �Alaihi wa Sallam bersabda:
�Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepadanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Tidak akan bercerai berai sehingga keduanya menghantarku ke telaga (Surga).�(Dishahihkan Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami�)
 
2. Golongan Yang Selamat akan kembali (merujuk) kepada Kalamullah dan Rasul-Nya tatkala terjadi perselisihan dan pertentangan diantara mereka, sebagai realisasi firman Allah:
�Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur�an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.� (An-Nisa� : 59)
�Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.� (An-Nisa� : 65)
3. Golongan Yang Selamat tidak mendahulukan perkataan seseorang atas Kalamullah dan Rasul-Nya, realisasi dari firman Allah:
�Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.� (Al-Hujurat : 1)
Ibnu Abbas berkata: �Aku khawatir akan jatuh batu dari langit (mereka akan binasa). Aku katakan, �Nabi Shallallahu �Alaihi wa Sallam bersabda, sedang mereka (membantah) dengan mengatakan, �Abu Bakar dan Umar berkata.� (HR. Ahmad dan Ibnu Abdil Barr)
4. Golongan Yang Selamat senantiasa menjaga kemurnian tauhid. (Silahkan baca buku yang sangat bagus tentang masalah Tauhid dengan judul �Kitab Tauhid� karya Syaikh Muhammad At-Tamimi, yang mengupas tentang keagungan kedudukan Tauhid serta menerangkan berbagai macam syirik yang sangat berbahaya,ed).
5. Golongan Yang Selamat senang menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah, baik dalam ibadah, perilaku dan dalam segenap hidupnya, karena itu mereka menjadi orang-orang asing di tengah kaumnya, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu �Alaihi wa Sallam :
�Sesungguhnya Islam pada permulaannya adalah asing dan akan kembali menjadi asing seperti pada permulaannya. Maka keuntungan besar bagi orang-orang yang asing.� (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan, �Dan keuntungan besar bagi orang-orang yang asing. Yaitu orang-orang yang (tetap) berbuat baik ketika manusia sudah rusak.� (Al-Albani berkata,�Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Amr Ad-Dani dengan sanad Shahih.�)
6. Golongan Yang Selamat tidak berpegang kecuali kepada Kalamullah dan Kalam Rasul-Nya yang ma�sum, yang berbicara dengan tidak mengikuti hawa nafsu. Adapun manusia selainnya, betapapun tinggi derajatnya, terkadang ia melakukan kesalahan, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu �Alaihi wa Sallam :
�Setiap bani adam (pernah) melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang bertaubat.� (Hadits Hasan riwayat Imam Ahmad)
Imam Malik berkata,�Tak seorang pun sesudah Nabi Shallallahu �Alaihi wa Sallam melainkan ucapannya diambil atau ditinggalkan (ditolak) kecuali Nabi Shallallahu �Alaihi wa Sallam (yang ucapannya selalu diambil dan diterima).�
7. Golongan Yang Selamat adalah para ahli hadits. Tentang mereka Rasulullah Shallallahu �Alaihi wa Sallam bersabda :
�Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang memperjuangkan kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sehingga datang keputusan Allah.� (HR. Muslim)
8. Golongan Yang Selamat menghormati para imam mujtahidin, tidak fanatik terhadap salah seorang diantara mereka . Golongan Yang Selamat mengambil fiqih (pemahaman hukum-hukum Islam) dari Al-Qur�an, hadits-hadits yang shahih, dan pendapat-pendapat imam mujtahidin yang sejalan dengan hadits shahih. (Lihat perkataan para Imam Madzhab pada muqaddimah kitab Sifat Shalat Nabi, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, yang mereka bersepakat agar meninggalkan perkataan mereka bila tidak sesuai dengan hadits shahih, ed.)
9. Golongan Yang Selamat menyeru kepada yang ma�ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka melarang segala jalan bid�ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) dan sekte-sekte yang menghancurkan dan memecah belah ummat. Baik bid�ah dalam hal agama maupun dalam hal sunnah Rasul dan para shahabatnya.
10. Golongan Yang Selamat mengajak seluruh ummat Islam agar berpegang teguh kepada sunnah Rasul dan para shahabatnya, sehingga mereka mendapatkan pertolongan dan masuk surga atas anugerah Allah dan syafa�at Rasulullah �dengan izin Allah-.
11. Golongan Yang Selamat mengingkari perundang-undangan yang dibuat oleh manusia, sebab undang-undang tersebut bertentangan dengan ajaran Islam. Golongan Yang Selamat mengajak manusia berhukum kepada Kitabullah yang diturunkan Allah untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Allah Maha Mengetahui sesuatu yang lebih baik bagi mereka. Hukum-hukumnya abadi sepanjang masa, cocok dan relevan bagi penghuni bumi sepanjang zaman.
12. Golongan Yang Selamat mengajak seluruh ummat Islam berjihad di jalan Allah. Jihad adalah wajib bagi setiap muslim sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya. Jihad dapat dilakukan dengan :
1. Jihad dengan lisan dan tulisan
Mengajak ummat Islam dan ummat lainnya agar berpegang teguh dengan ajaran Islam yang shahih, tauhid yang murni dan bersih dari syirik yang ternyata banyak terdapat di negara-negara Islam. Rasulullah Shallallahu �Aliahi wa Sallam telah memberitakan tentang hal yang akan menimpa ummat Islam ini. Beliau bersabda :
�Hari kiamat belum akan tiba, sehingga kelompok-kelompok dari ummatku mengikuti orang-orang musyrik dan sehingga kelompok-kelompok dari ummatku menyembah berhala-berhala.� (Hadits shahih, riwayat Abu Dawud, hadits yang semakna ada dalam riwayat Muslim)
2. Jihad dengan harta
Menginfaqkan harta buat penyebaran dan perluasan ajaran Islam, mencetak buku-buku da�wah ke jalan yang benar, memberikan santunan kepada ummat Islam yang masih lemah iman agar tetap memeluk agama Islam, memproduksi dan membeli senjata-senjata dan peralatan perang, memberikan bekal kepada mujahidin, baik berupa makanan, pakaian atau keperluan lain yang dibutuhkan.
3. Jihad dengan jiwa
Bertempur dan ikut berpartisipasi di medan peperangan untuk kemenangan Islam. Agar kalimat Allah (Laa ilaha illallahu) tetap jaya sedang kalimat orang-orang kafir (syirik) menjadi hina.
Dalam hubungannya dengan ketiga perincian jihad diatas, Rasulullah Shallallahu �Alihi wa Sallam mengisyaratkan dalam sabdanya :
�Perangilah orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwa dan lisanmu.� (HR Abu Dawud, hadits Shahih).
(Disadur dengan beberapa ringkasan dari kitab Manhaj Al-Firqatun Naajiah (Jalan Golongan Yang Selamat), karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)

Senin, 02 Januari 2012

Tahun Baru, Tahun "Tuhan" Kami!


“2012” itulah  angka yang 2-3 hari kedepan akan menghiasi halaman surat kabar harian di pojok kanan atas halaman di samping nama bulan. Angka ini lahir dari sistem penanggalan yang disebut “The Gregorian Calendar” atau “Christian Calendar” atau yang dikenal di Indonesia sebagai kalender Masehi”.

Kalender Gregorian diambil dari nama seorang Paus, Paus Gregorius XIII tepatnya. Sang Paus dalam sejarahnya memodifikasi penanggalan Julian yang mana, ia adalah dasar kalender Masehi sekarang ini.  Penanggalan Julian adalah hasil prakarsa Kaisar Romawi yang terkenal  Julius Caesar, ia memperbaiki sistem penangalan Romawi (sistem penanggalan ini diperkenalkan pada abad ke-VII)  dengan berdasar rotasi bumi terhadap Matahari, yakni sebanyak 365 hari dan 1/4 hari.  Dari ¼ hari yang terkumpul setiap tahunnya kemudian ditambahkan setiap empat tahun sekali ke dalam perhitungan tahun yang ke empat tersebut, yang dikenal dengan nama tahun Kabisat.
Setelah cukup lama digunakan ternyata penanggalan  Julian 11 menit 14 detik lebih panjang  dibanding dengan tahun matahari. Akibatnya perhitungan hari dalam setahun kurang 10 hari. Maka sang Paus mengeluarkan maklumat pada Konsili Nicea I, bahwa gereja menambahkan 10 hari dari penanggalan Julian.

Ia juga  menetapkan bahwa tahun-tahun dalam setiap abad yang dapat dibagi dengan 400 adalah tahun kabisat.

Penanggalan ini (Gregorian) menggunakan patokan tahun pertama kelahiran Yesus sebagai tahun 1 Masehi. Sehingga tahun-tahun sesudahnya disebut Anno Domini (disingkat AD), yang bermakna “the year of the lord” (tahun tuhan kami) sedangkan tahun sebelumnya kelahiran Yesus disebut “Before Christ”  (dengan singkatan BC) atau meminjam istilah bahasa Indonesia  “sebelum Masehi”.

Jika perhitungan permulaan kalender  ini benar, maka 2012 adalah usia Nabi Isa alahi As-salam saat ini.

Nabi Isa masih hidup sampai saat ini, dan akan turun suatu saat nanti untuk membasmi “Anti Christ”  atau sering disebuh sebagai “Dajjal”. Soal penyaliban, Allah azza wa jalla telah menerangkan di surat An-Nisaa: 157, bahwa yang disalib adalah “orang yang diserupakan seperti Isa”.

Bunyi lengkapnya seperti ini;

وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَـكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِيناً

Dan karena ucapan mereka; "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, 'Isa putra Maryam, Rasul Allah, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan 'Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) 'Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah 'Isa.” [An-Nisaa: 157]

Tak ubahnya kalender Masehi yang berpatokan dengan kelahiran Yesus, kalender Hijriyah atawa kalender Islam berpatokan dengan Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)   bedanya ia dimulai dari hijrah Rasulu’l-llah shalla ‘l-llahi alaihi wa sallam bukan kelahiran sang Nabi.

Sebelum adanya penanggalan Islam atau Hijriyah, Kaum Arab belum memiliki sistem penanggalan yang jelas. Mereka (kaum Arab) dalam menentukan kelahiran seseorang, usia seseorang dan sebagainya berpatokan pada kejadian-kejadian 'besar' yang terjadi di tahun tersebut  atau berpatokan pada  tokoh yang terkenal pada saat itu.

Sebagai contoh Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  dicatat dalam sejarah kelahirannya ketika "a mu fiel " atau "bulan gajah", begitu juga abu bakar "ba'da aa mu fiel  bi tsalaastati sinien" (Lahir setelah tiga tahun kejadian tahun gajah).

Dan begitu pula yang berpatokan dengan pada tokoh. Layaknya Rabi'e bin Al-fazari dalam syairnya menjelaskan bahwa usianya sama dengan Hajjar bin Amroe Abie Amrie Alqois.

“Engkau mengirimkan surat yang tidak ada tanggalnya, “begitu tulis Abu musa Al-Asyarie kepada amirul mukminin Umar Radiyallahu anhu. Di saat yang lain  Umar bin Khattab menerima sebuah cek bertuliskan dari fulan kepada fulan yang lain yang berhutang yang waktu pelunasannya di bulan Sya’ban. Umar berkata, “Bulan Sya’ban yang mana? Apakah Sya’ban tahun ini, tahun sebelumnya, atau tahun depan?”

Tak langsung  Umar pun menggelar  musyawarah dalam menentukan sistem penanggalan untuk Daulah Islamiah saat itu. Dengan teritorial kepemimpinan Umar yang cukup luas saat itu, surat-menyurat tak terelakan, terlebih surat perintah, maka tanpa adanya keterangan waktu cukup merepotkan.

Dalam musyawarah, sistem penanggalan Romawi dan Persia dipaparkan, namun sahabat Ridwanullah alaihim tidak mencapai kata sepakat. Selanjutnya mereka sepakat untuk memakai sistem penanggalan  yang mengacu pada Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  sebagaimana yang telah maklum bahwa bulan-bulan Islam dan cara menentukannya telah diketahui sejak zaman Rasul namun penentuan waktu saja yang belum ada pada zaman itu.

“Penanggalan mengacu pada saat diutusnya Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم), ” ujar sebagian, yang lain “dari wafatnya”,”dari “lahirnya”, dan akhirnya mereka para sahabat sepakat bahwa sistem penanggalan mereka ini berpedoman dengan Hijrahnya Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  dari Makkah.

“Lantas, dengan bulan apa dimulai?” “Ramadhan,” jawab sebagian lain. Namun kesepakatan ada pada bulan Muharram sebagai bulan pertama, dengan alasan pada saat itu umat Muslim pulang dari haji dan merupakan bulan “haram”. Hal ini juga merupakan jawaban atas pertanyaan: “Kenapa tahun Hijriyah dimulai dengan bulan Muharram sedangkan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  berhijrah di bulan Rabiul-Awwal?”
Dan sejak saat itu diberlakukanlah sistem penanggalan Hijriyah, tepatnya pada tahun ke 16 setelah hijrahnya Rasulullah. Dan proses musyawarah dalam menentukan penanggalan hijriyah ini direkam oleh  Imam Thobary dalam kitabnya “Tarikh at-thobary”.

Apesnya, umat muslim Indonesia lebih familiar dengan penanggalan buatan “Sang Paus” daripada penanggalan seorang yang merupakan salah satu dari 10 orang yang langsung masuk surga yaitu, Umar bin Khattab Radiyallahu anhu. Lantas Anak- anak bangsa, asing dengan agamanya sendiri?

Bunyi terompet, raungan motor, letupan kembang api, dan sebagianya sudah sewajarnya dijauhi oleh umat Muslim. Alasannya sederhana; perayaan yang diakui dalam ajaran Islam hanya dua. Sebagaimana yang direkam oleh Abu Daud di Kitab Sunan-nya; “Diriwayatakan dari Anas bin Malik: suatu saat Nabi memasuki kota madinah setelah menempuh perjalanan, di dalam kota suasana ramai selama 2 hari. Nabi Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bertanya, “Suasana kota ini ramai, ada apa gerangan?” jawab orang-orang: “Kami mengadakan suatu permainan untuk menyambut hari raya jahiliyah” kemudian nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantinya dengan hari raya qurban dan fitri.” (HR.Abu Dawud).

Selain acara seperti ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah Islam, kalender Masehi merupakan produk “gereja”. Padahal Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda; ”Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu daud)

Terbuangnya waktu dan uang,banyaknya wanita yang tidak menutup bagian yang seharusnya ditutup, dan akan banyak kemunkaran dalam pesta-pesta seperti ini rasanya cukup menjadi alasan untuk kita absen pada saat mengikutinya, apalagi ikut merayakannya.
Terlebih Rasulullah Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  telah bersabda; "Min husni islami Al-mar I tarkuhu ma la ya'niehi." (Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.” (Hadist Hasan Riwayat Tirmidzi). Wallahhu a'lam bi 'l-showab.


Penulis peminat masalah keagamaan, kini tinggal di Madinah Al Munawwarah,  Saudi Arabia

Keterangan: Makam Paus Gregorius XIII merayakan pengenalan Kalender Gregorian

Bantahan Atas Fatwa Halal Mengucapkan Selamat Natal Yusuf Al Qaradhawi

Prof. Dr. Yusuf Al Qaradhawi memfatwakan bahwa mengucapkan Selamat Natal itu Halal. Ini jelas bertentangan dengan Firman Allah, Sunnah Nabi dan para Sahabat, dan juga para Imam Madzhab.
Mengingat beliau punya banyak pengikut, tentu hal ini perlu diluruskan agar pengikutnya tidak tersesat.
Di antara dalil yang dipakai Al Qaradhawi untuk menghalalkan Ucapan Selamat Natal adalah:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu…” [QS. Al-Mumtahanah: 8]
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86)
Penggunaan Dalil di atas tidak tepat untuk menghalalkan Selamat Natal. Sebab Nabi dan Para Sahabat serta Imam Madzhab tak pernah menggunakan itu untuk mengucapkan Selamat Natal kepada orang-orang Nasrani.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu…” [QS. Al-Mumtahanah: 8]
Firman Allah tersebut mengenai berbuat baik seperti memberi makan atau menyantuni Non Muslim atau bergaul dengan orang tua yang Non Muslim. Bukan untuk berbuat dosa seperti Syirik dengan mengucapkan Selamat Natal kepada ummat Kristen yang merayakan kelahiran Tuhan mereka.
Sebab turunnya ayat Al Qur’an di atas adalah sebagai berikut:
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut:
Asma’ mengatakan,
“Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya4. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama.” [QS. Al Mumtahanah [60] : 8]” 
Kalau “Tolong-Menolong” dalam perbuatan dosa seperti Syirik dengan turut merayakan atau memberi ucapan selamat atas kelahiran Tuhan Anak/Yesus itu justru dosa:
“…Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..” [Al Maa-idah 2]
Menolong orang Musyrik yang tengah berbuat dosa syirik dengan memberi ucapan selamat justru mendapat murka Allah dan siksa neraka yang kekal:
“Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.” [Al Maa-idah 80]
Syirik itu adalah dosa terbesar dan tidak diampuni oleh Allah. Bagaimana mungkin kita terhadap orang yang sedang berbuat dosa Syirik justru memberikan ucapan “Selamat Natal”? Ini sama halnya ketika ada orang yang sedang berbuat dosa misalnya sedang mencuri atau berzina, kemudian kita justru memberi mereka ucapan Selamat. Wajarkah itu?
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An Nisaa' 116]
Mungkin ada yang merasa tak enak seandainya anaknya Muslim dan orang tuanya beragama Kristen yang merayakan Natal. Nanti tidak enak dong kalau tidak mengucapkan Selamat Natal.
Sesungguhnya berbuat baik selama tidak maksiyat kepada Allah tidak mengapa misalnya setiap hari mencium tangan orang tua, ngobrol dengannya, dan merawatnya jika sakit. Itu lebih bermakna dan bermanfaat daripada mengucapkan “Selamat Natal” setahun sekali tapi tidak melakukan itu. Jika pun ditanya mengapa tidak mau mengucapkan “Selamat Natal”, itulah kesempatan kita menyelamatkan mereka agar tidak terjerembab ke api neraka dan bisa masuk surga bersama kita.
Katakan bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Dan menyekutukan Allah dengan yang lain itu dosa besar yang tidak terampuni. Coba Bapak marah tidak jika mama kawin lagi? Tentu marah bukan. Nah Allah lebih cemburu lagi. Allah tidak mau ada Tuhan lain yang disembah selain Dia.
Mungkin ada yang berkata, “Masak mengucapkan Selamat Natal saja haram?” Menurut kita mungkin kecil. Tapi di sisi Allah ucapan yang sesat itu besar dosanya. Coba lihat:
“Mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.”
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh” [Maryam 88-90]
Dalam hal muamalat, kita bisa berbuat baik. Tapi dalam hal aqidah kita tegas. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa al-Walid bin al-Mughirah, al-’Ashi bin Wa-il, al-Aswad bin Muthalib dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasulullah saw dan berkata: “Hai Muhammad! Mari kita bersama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami.” Maka Allah menurunkan ayat ini (S.109:1-6)
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id bin Mina.)
Inilah surat Al Kaafiruun ayat 1-6:
Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86)
Sesungguhnya firman Allah di atas menyangkut dengan ucapan salam: “Assalamu’alaikum”. Semoga Allah memberi keselamatan untukmu. Bukan ucapan Selamat Natal yang mengandung kemusyrikan.
Itu pun ucapan salam di atas berlaku jika pemberinya adalah sesama Muslim. Bukan non Muslim. Jika yang memberi salam seorang Muslim misalnya “Assalamu’alaikum”, kita sebaiknya menjawab dengan lebih baik seperti “Wa ‘alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuhu”.
Sebaliknya jika Non Muslim yang mengucapkan itu, kita cukup menjawab “Wa ‘alaika”. Sebab kita tidak bisa mendoakan Non Muslim dengan semoga Allah memberimu Keselamatan, Rahmat, dan Keberkahan sementara mereka tidak mau beriman kepada Allah.
Nabi menjelaskan di hadits yang sahih:
Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:
Rasulullah saw. bersabda: Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah: Wa`alaikum. (Shahih Muslim No.4024)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya orang Yahudi itu bila mengucapkan salam kepada kalian mereka mengucapkan: “Assaamu `alaikum” (kematian atas kalian), maka jawablah dengan: “Wa`alaka” (semoga menipa kamu). (Shahih Muslim No.4026)
Kita tak boleh taqlid mengikuti ulama. Harus dilandasi ilmu. Sebab tak semua ulama itu mengikuti sunnah Nabi. Ada juga ulama su’ yang justru mengajak pada kesesatan.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [At Taubah 31]
[639]. Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
Celaka atas umatku dari ulama yang buruk. (HR. Al Hakim)
Seorang ulama yang tanpa amalan seperti lampu membakar dirinya sendiri (Berarti amal perbuatan harus sesuai dengan ajaran-ajarannya). (HR. Ad-Dailami)Seorang ulama yang tanpa amalan seperti lampu membakar dirinya sendiri (Berarti amal perbuatan harus sesuai dengan ajaran-ajarannya). (HR. Ad-Dailami)
Nabi dan para sahabat serta tabi’in serta para Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’e, dsb tak pernah mengucapkan selamat Natal. Hendaknya kita ikuti sunnah mereka. Saat ini banyak ulama yang “keblinger” dalam hal berfatwa. Jadi hendaknya kita mengikuti Nabi, sahabat, dan para ulama Salaf/terdahulu agar tidak tersesat:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”
dalam lafazh lain disebutkan bahwa,
“Sebaik-baik zaman adalah zamanku (zaman para sahabat), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’in), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533 hadits ini adalah Mutawatir)
Ada juga beberapa website yang memelintir seolah-olah MUI (Majelis Ulama Indonesia) menghalalkan Ucapan Selamat Natal. Padahal MUI mengharamkannya:
Fatwa MUI:
1.       Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.
2.       Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
3.       Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dengan melarang ummat Islam agar tidak terjerumus ke hal yang Syubhat (Tidak Jelas Halal/Haram seperti Ucapan Selamat Natal) jelas MUI saat itu mengharamkan segala hal yang Syubhat termasuk mengucapkan Selamat Natal.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI H. Aminuddin Ya`qub menyatakan MUI sejak masa Buya Hamka telah mengeluarkan fatwa haram bagi umat Islam memberi ucapan selamat natal. “Fatwa haram itu masih berlaku. MUI hingga kini belum merubahnya,” tegasnya.
Silahkan baca juga:

Referensi:

Design by Jajang Rohana Visit Original Post Islamic2 Template